Guru Nasibmu Kini Ibarat ” Candu dan Rokok Kretek”

 

Oleh : Tahyudin, Guru MI Terpadu Cintaraja

“Aku ingin menjadi guru yang dirindukan. Setiap hari mengajar kebaikan tentang akhlak dan kepribadian.

Setiap hari beri investasi pahala untuk menggapai surga.”

Sebaliknya, janganlah setiap hari menumpuk- numpuk dosa, menjadi guru yang semaunya, digaji negara dari uang rakyat.

Itu sebuah ungkapan yang tidak mudah dijlani, tentang Profesionalisme guru.

Dalam konteks pendidikan dan profesionalisme guru. Dalam konteks kekinian di media sosial, guru seringkali menjadi panggung terbuka di mana pendapat dan tanggapan dilemparkan tanpa filter ibarat kepulan asap rokonya kretek. Terutama ketika terjadi insiden terbaru.

Saat terjadi corona covid 19, pemberlakuan pembelajaran secara online ada khalayak yang mengatakan: Enak jadi Guru makan gaji buta. Sebuah stigma generalisasi publik, padahal tak sedikit guru honor yang dibayar berdasarkan jam mengajar saja.

Kini peristiwa dan kejadian adanya kecelakaan saat study tours, yang tragis dan berakhir dengan kematian 12 pelajar kembali mengundang kemarahan dan hujatan para nitizen terhadap sosok yang bergelar pahlawan tanpa tanda jasa.

Masayarakat media sosial cenderung memberikan respon yang seringkali mengarah pada pelabelan dan generalisasi yang negatif.

Suara masyarakat mulai menguliti dengan mempertanyakan gelar pahlawan tanpa jasa, yang sebenarnya bagi kaum guru sendiri tidak diperlukan, karena faktanya hanya menina bobokan kesejahteraan dan supaya konsisten menjadi pengamal jargon Ikhlas Beramal.

Peluh keringat yang mengucur terhapuskan dengan cap mementingkan keuntungan semata, berbisnis dengan siswa, bahkan di cap sadis dan memaksa terhadap program yang berkaitan dengan cuan.

Dalam mengkaji fenomena ini, berdasarkan teori mendasar “Labeling’ yang dikemukakan oleh Howard Becker, menyediakan lensa analisis yang kritis dan mendalam.

Masarakat sedang melakukan propaganda Labeling menekankan bahwa masyarakat sering kali memberi label negatif kepada individu atau kelompok berdasarkan tindakan yang menyimpang dari norma yang diterima.

Ini bukan hanya pemberian label semata, tetapi juga bagaimana label tersebut memengaruhi persepsi dan perilaku masyarakat terhadap mereka yang dilabeli.

Dalam kasus guru dan kegiatan study tour, pelabelan negatif bisa berakibat pada stigma yang mengakar tidak hanya terhadap individu yang terlibat secara langsung dalam insiden, tetapi juga terhadap seluruh profesi guru tanpa dibeda-bedakan.

Dan kegiatan pendidikan serupa; yang padahal tidak ada sama sekali unsur keterkaitannya dengan insiden yang terjadi.

Kecerdasan masayarak dalam menganalisis permasalahan sosial, yang bisa menjadi identitas diri masyarakat cerdas dan kritis, telah dikikis dengan menyampingkan akal sehat, oleh candu prilaku yang buruk atu stigma negatif terhadap guru.

Padahal guru juga menjadi sosok yang telah menjadi” candu” bagi orang tua dalam merubah perilaku anak bangsa menjadi baik.

Namun ibarat rokok kretek, lontaran negatif tanpa filter ke sosok yang bernama guru tentunya, sangatlah “berbahaya” terhadap dunia pendidikan dan profesi seorang guru.

Menciptakan efek domino negatif dan stigma ini mengarah pada penolakan sosial, diskriminasi, dan bahkan isolasi dari mereka yang dilabeli.

Stigma tersebut tidak hanya mengurangi kualitas interaksi antara guru dan siswa, tetapi juga menurunkan minat dan kepercayaan orang tua terhadap program pendidikan yang memang faktanya membutuhkan anggaran.

Meskipun program itu, sebenarnya bisa sangat bermanfaat bagi perkembangan siswa.

Lebih lanjut, profesi guru yang dilabeli mungkin mulai menerima label tersebut sebagai bagian dari identitas profesional mereka, yang penuh tantangan, mengakibatkan penurunan motivasi dan mungkin juga efektivitas dalam mengajar yang menghasilkan out put yang baik menjadi kurang bergairah.

Semoga labeling ini, hanya fenomena sesaat dan menyadarkan semua stake holder dengan tidak merespon menjadi kesedihan dan reaksi berlebihan.

Insiden dan opini publik negatif ini dijadikan sebagai cerminan, supaya di masa yang akan datang, supaya tidak mudah melabeli dengan stigma negatif dari seluruh kegiatan atau profesi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *