Menjawab Dengan Tafsir Hermenutika
Ini bercerita tentang rasa, saat saya mengajak ustazd Kholid Arifin dan Ustazd Fawaz mengikuti perjalan saya ke Cirebon.
Dengan gerakan spontan mobil yang saya kemudikan harus ngerem mendadak.
Setelah didepan ada angkot yang tiba- tiba mundur dan ngerem mendadak di bahu jalan di wilayah Kota Kuningan Jawa Barat.
Sempat di hinggapi rasa kaget dan seketika rasa ngatuk yang sempat mengganggu menggelayuti mata langsung hilang.
Saya membuka goggle map, ada perasaan yang hinggap dihati mewujudkan keinginan untuk sekedar mampir menghilangkan rasa ngantuk dengan berziarah ke makam Syaikh Ahmad Sobari atau yang biasa dipanggil Mama Ciwedus, murid syaikhona Kholil Bangkalan Madura dan Guru Mama Suja’i atau yang akrab dipanggil Mama Kudang Tasikmalaya.
Perasaan begitu kuat membunuh keinginan saya untuk segera tiba di Cirebon sebagian kota tujuan awal.
Dari jalan besar saya mengikuti arahan google map, melintasi jalan setapak mobil, menelusuri jejak jalan- jalan pedesaan yang kondisi nya mulus beneran.
Saya berdoa di makam Mama Ciwedus dan sempat menatap lukisan yang menempel di dinding tembok pemakaman. Garis- garis wajah dan pakaian yang di kenakan Mama Sobari melambangkan tampilan masyarakat desa pada umumnya, yang hidup penuh dengan kesederhanaan, tidak mengutamakan penampilan.
Jika saja lukisan itu di tempel di tempat lain, mungkin perasaan saya akan mengatakan jika lukisan yang estetik itu menggambarkan sosok seorang pak tua renta yang tidak begitu istimewa, dari gurat koas lukisan mencerminkan gestur wajah petani desa atau manusia ripuh ketimbang sosok ulama besar. Tak ada cerita dari lukisan itu yang menyampaikan pesan ia telah membidani lahirnya para ulama di Jawa Barat.
Rasa kagum dengan kesederhanaannya hingga saya berupaya mengambil gambar lukisannya dengan camera hape dan memotret cungkup dan pusara makam Mama Sobari.
Setelah tiba di Cirebon dan keliling berziarah ke makam sinuwun kanjeng Sunan Gunung Djati dan makam Sang Guru Kanjeng Sunan yaitu Syaikh Datul Kahfi, saya berisitirahat sejenak, di Masjid Sang Cipta Rasa yang dibangun di zaman peradaban Kangjeng Sunan Gunung Djati. Saya membuka obrolan.
Kenapa Sang Cipta Rasa? Tanya saya ke Ustazd Kholid? Saya bertanya dan saya jawab sendiri pertanyaan yang saya lontarkan dengan Tafsir Hermeneutik rasa.
“Karena masjid ini tempat mengolah rasa, yang dititipkan di hati manusia oleh Allah SWt. Jika hamba Allah telah memiliki rasa, ia sholat di tempat ini diingatkan, sholat bukan sekedar melaksanakan hukum wajib secara fikhiyah. Sebab kalau semata-mata melaksanakan kewajiban, bisa saja sholatnya akan menjadi beban.
Tapi kalau rasanya sudah di menej sholat itu benar -benar menjadi kebutuhan kita terhadap Sang Khaliq. Rasa di hati manusia tentunya menjadi adem dan tenang saat berjumpa dan berkomunikasi dengan Allah.
Akan merasakan rugi jika mengabaikan waktu perintah sholat.
“Pak kenapa pintu masjid Sang Cipta Rasa itu kecil dan pendek sehingga saat masuk kita harus membungkuk?” tanya Ustazd kholid.
Pertanyaan spontan dan historis itu saya jawab juga dengan spontan memakai psykologi rasa. “Lihatlah jika kita menyaksikan orang- orang bertemu dengan presiden ia akan bersalaman degan membungkukan badan. Masjid itu Rumah Allah SWT, kita akan bertemu dengan yang maha gagah, maha Kaya dan maha segalanya, pernah kah kita membungkuk jika kaki kanan kita dilangkahkan memasuki pintu Masjid?
Sementara gerakan kita tidak akan lolos dari tatapan Allah yang maha menatap.Disaat kita akan memasuki rumahnya Dia lah Allah yang maha melihat kita dan dalam keadaan tersenyum.
“Coba biasakah kita mengolah rasa, pemberian Sang ciptakan rasa, yang maha menatap sedang menyaksikan gerak- gerik kita yang angkuh mau menghadaNya. Nah…. Pintu Masjid ini lah yang mengingatkan kita kalau tidak merunduk kita akan celaka,” Jawab saya, tentunya menjawab dengan penuh rasa juga.