Refleksi Memperingati Maulid Nabi SAW.
Menjawab Presfektif Psykolog Modern Tentang Persoalan Memondokan Anak Usia Dini
Para psykolog modern banyak yang besepakat agar memondokan anak itu , seja usia SMP – SMA, saja. Sebab masa usia dini atau usia SD, dikhawatirkan menganggu mental anak, akibat banyaknya tekanan dan aturan di pondok.
Masa usia dini menjadi tanggungjawab, orang tua lah yang seharusnya menjadi guru pertama anaknya di rumah.
Mereka berpedapat , jika ingin memasukkan anak di pesantren, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para orang tua. Salah satunya adalah faktor usia anaknya.
Menurut psikolog Fitri Ariyanti Abidin usia anak penting jadi pertimbangan. Ada pesantren yang menerima anak mondok di usia SD/MI, SMP dan SMA.
Namun ia kurang sepakat memasukkan anak ke pesantren di usia SD/MI.
Usia tersebut, dia mengatakan, adalah masa perkembangan penajaman nilai-nilai dasar kepada anak.
Lanjut dia, selain itu, anak usia SD masih membutuhkan fondasi dari orangtua. Makanya, kurang tepat memasuki anak di usia dini (SD).
Usia yang pas memasukkan anak ke pesantren bukan saat SD/MI tapi SMP saja. Usia SMP, alasannya anak menganggap peran orang tua tidak begitu dominan lagi, malahan peran teman yang dianggapnya lebih besar.
Menurut saya pendapat itu tidak semuanya benar, bisa juga salah tergantung dari spektrum pandangnya dulu, dari sisi mana?
Jika terlalu di generalisasikan hanya mengambil dari sebuah teori saja rentang usia, tanpa melalui riset terlebih dahulu menjadi salah.
Karena saya sebagai pelaku yang mendirikan pesantren khusus anak-anak merasa dirugikan dan menjadi korban. Sebab setiap pesantren memiliki karaketeristik atau otonomi pengajaran sendiri yang berbeda- beda. Membangun kemandirian pesantren dalam berbagai hal, tidak bisa digeneresasikan oleh sebuah teori, melainkan tergantung masing- masing stake holder tertingginya adalah kyai.
Sebab faktanya jika pendapat ini hanya copy paste teori saja, tentunya pesantren anak- anak yang mengajari ilmu pengetahuan tanpa adanya penekanan, tanpa merampas hak- hak bermain anak, mengembangkan potensi atau karakteristik anak secara orgininal, akan menjadi korban pendapat tersebut.
Memang benar orang tua lah yang paling bertanggungjawab pendidikan anaknya. Tapi selayaknya menjadi guru pertama di rumah idealnya harus berdasarkan habit orang tuanya dulu di rumah, misalkan habit mengahafal alquran, melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT dan mampu membimbing anak secara langsung tidak diserahkan ke pembantu atau ke orang yang bukan ahlinya, semuanya ini menjadi parameter keluarga sakinah.
Jika sebaliknya karena kesibukan orang tua, sehingga anak asal tidak rewel saja, sebagai bentuk tanggung jawab, orang tua harus memilih pendidikan yang tepat bagi anaknya diantaranya pesantren di usia dini, yang memberlakukan pola asuh dan mengahargai hak- hak anak untuk menemukan masa kecilnya yang indah.
Berakaca kapada Siroh nabawiah, banginda Rosulullah SAW, yang dititipkan kepada Halimatu Syadiyah sejak masa bayi (anak susuan), itu merupakan bentuk perlawanan terhadap sosio- kuktural masyarakat Arab saat itu.
Yang sedang mengalami degadrasi moral. alasan lain untuk menghindari polusi atau adanya kominitas pergaulan kota dan untuk menghirup udara segar pedesaan.
Apalagi kota Makkah saat itu didatangi oleh banyak pengunjung yang berasal dari penjuru dunia dengan beragam jenis manusianya. Mereka datang untuk menunaikan haji, kunjungan hingga berdagang dan lainnya. Kondisi tersebut berpotensi mengotori pergaulan dan moral.
Muhammad SAW saat masih bayi diasuh di pedalaman dimaksudkan untuk membiasakan mereka berbahasa Arab yang bagus dan menghindari kesalahan dalam berbahasa Arab.
Pelajarannya, penting bagi kita untuk menjaga murninya bahasa Arab yang merupakan bahasa dari kitab suci kita.
Sama halnya dengan kondisi lingkungan sekarang di Indonesia khususnya tak bisa dipungkiri bahkan seluruh sudut dunia sudah dukepung oleh teknologi diantaranya gadget.
Siapapun sudah tidak bisa lagi menolak, karena setiap orang memilikinya, begitu pun pengaruh negatifnya bagi anak- anak kita, yang ada di rumah. Sudah tidak bisa terbendung lagi.
Jika kita melihat kondisi sekarang ini betapa hati kecil ini merasa miris, dengan cepatnya globalisasi merayap-rayap di bumi pertiwi kita indonesia, norma norma yang ditemurunkan dari Baginda Rasulullah SAW sebagai penyempurna Ahlak manusia, hampir hilang. Kemaksiatan ada dimana- mana, dan mudah didapatan di gengngaman tangan kita. Begitu bangganya saat menjadi sorotan kamera hape.
Pergaulan tak lagi mengenal batas, dan kasus- kasus seperti itu banyak terjadi di kalangan remaja yang masih labil.
Sebagai orang tua, pastinya kita tak ingin gadget seperti menjadi agama baru yang pesan- pesannya di ikuti anak kita, hingga terjerumus dalam jurang masa depan suram.
Sebagai orang tua tentunya, ingin sekali melihat anaknya sukses dunia akhirat, berbakti kepadanya, dan apa saja yang bersifat baik.
Berbagai cara dilakukan, agar anaknya lepas ketergantungan dengan gadget, tapi tanpa di tempatakan di lingkungan atau komunitas yang bebas gadget diantaranya pesantren yang mensteriilkan penggunaan gadget, upaya itu hanya akan menjadi keniscayaan belaka.
Begitupun upaya menyekolahkan anaknya, baik madrasah maupun formal, sebagai benteng dari permasalah saat ini.
Tapi apakah itu cukup?
Jika kita melihat fakta yang ada saat ini, meskipun disekolahkan, kejadian-kejadian diatas kerap sekali terjadi, kriminalitas, buliying, fornografi kerap dipertontonkan, mengingat pergaulan saat ini tak mengenal batas.
Sekali lagi jika hanya mengandalkan sekolah dan pantauan dari orang tua, kami rasa itu belum cukup (melihat fakta yang ada).
Selagi tidak ada upaya untuk mengubur dalam- dalam kebiasaan buruk bemain gadget hingga lupa waktu ber jam- jam.
Dengan cara mencegahnya menenpatkan anak usia dini di pondok yang bebas hape.
Tak bisa dipungkiri, pasti orang tua akan miris menitipkan anak di pesantren dengan kondisi kebutuhan hidup yang tentunya sederhana.
Saya juga sebagai orang tua sejak awal sudah ikhlas dengan kehidupan dan nasib mereka. Karena saya meyakini bukan kah Allah maha menjaga ketimbang kita sebagai orang tuanya? Bukankah Allah maha menyayangi ketimbang kita sebagai orang tuanya?
Maka titipkan lah anak kita yang ada di Pesantren jiwanya, raganya anak kesayangan kita ke Allah Swt yang maha menatap dan maha menjaga.
Saya sudah membuktikan jika kita sebagai orang tua lepas dan ikhlas, tega demi masa depannya anak tidak akan rewel dan tidak akan banyak mengeluh. Kita harus percaya dengan didikan yang telah diatur pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan mengajarkan tentang belajar sabar, ikhlas dalam menghalau badai cobaan.
Kita sebagai orang tua juga dituntut untuk tega dengan apapun yang terjadi pada anak. Dengan begitu, kita bisa mengajarkan arti hidup yang sederhana. Untuk mencapai kesuksesan tak sedikit akan berkawan dengan penderitaan, ujian kesulitan, bahkan bertaruh nyawa sekalipun, sebaliknya bukan kaum rebahan.
Namun, saya merasakan betul sebagai orang tua santri, tentu tidak mudah dilalui. Apalagi, jika banyak diantara kita yang menaruh harapan besar pada pada kesuksesan pendidikan anak kita, sehingga kita terkadang khawatir dengan kesehatan dan kebutuhan sandang dan pangan mereka jadi menderita tinggal di ponpes.
Lebih parahnya lagi, anak abad Z atau zaman sekarang yang tinggal di Ponpes apalagi anak yang masih kecil menjadi mudah terpengaruh dengan teman sebayanya. Terkadang merasa iri, overthinking, ikut-ikutan dan ingin mencari perhatian (manja).
Sehingga kebutuhan yang sifatnya tidak pentingpun, seringkali minta dipenuhi bahkan terkadang orang tuanya karena merasa tidak tega apa saja dibawakan untuk bekal makanannya, hingga berlebihan asal anaknya senang dan bahagia.
Padahal, semua itu jauh dari prinsip pondok yang mengajarkan kehidupan sederhana bagi santri. Bagaimana anak bisa hidup sederhana jika semua keinginan mereka kita turuti?
Jadi, saya mohon kepada ayah bunda berhentilah memenuhi kebutuhan yang sifatnya tidak terlalu penting dan bukan termasuk kebutuhan utama atau pokok. Sebab, semakin kita menuruti apa saja yang mereka inginkan, dengan harapan mereka bisa semakin nyaman tinggal di pondok, sama saja kita memanjakan mereka. Sedangkan tujuan utama kita adalah mengajarkan anak hidup sederhana dan belajar sabar mengatasi permasalahan sendiri, sehingga akan terbisa kelak menghalau badai cobaan yang dasyat dan hidup dengan kesederhanaan.
Selain itu ber keresek – keresek makanan dan kunjungan saya hawatir mengundang kesedihan bagi santri yang jauh yang sebulan sekali ditengok ortunya bahkan jarang ditengok.
Apapun alasan yang mereka buat, kita harus tega dan mengajarkan mereka untuk memilih kebutuhan yang sifatnya penting.
Sebab dengan penuhnya jajan di lemari anak juga menjadi terganngu pola dan jadwal makannya di pesantren.
Buatlan cara menolak permintaan anak dengan halus salah satunya dengan memberi pengertian sejak dini bahwa mereka harus bisa memilih dan membeli secukupnya kebutuhan yang mendesak, membedakan mana kebutuhan penting dan pokok saja. Dengan keinginan yang sifatnya hawa nafsu atau Bukan kebutuhan yang sifatnya sekunder. Jika ayah bunda/ wali santri ikhlas melepas anak belajar di pondok, maka sudah saatnya ayah bunda bersikap tega tawakal ‘Alalloh .
Dengan begitu, sikap kesederhanaan dan kemandirian akan dimaknai menjadi keberhasilan sebagai wujud dari pendidikan karakter di dalam diri seorang santri.
Mereka harus belajar artinya kepahitan, agar mereka bisa berubah menjadi manusia yang sederhana.
Anak kita jika ingin sukses sebagai genderasi 20 tahun ke depan, harus terbiasa berkawan dengan kesulitan, sehingga sudah terbiasa menghadapi kesulitan mampu mengahalau badai cobaan.
Karena tidak ada orang sukses tanpa mengarungi ujian dari Allah SWT. Sebagai mana firmannya ;
اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya : Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.
QS. Ali ‘Imran Ayat 142.
Sebagai orang tua, kita mesti menjaga anak kita agar mereka tidak melalaikan akhirat, maka kenalkan dan ajarkanlah mereka tentang ilmu agama yang lebih dalam.
Sedangkan pondok pesantren yang terintegritas dengan memperhatikan mental dan karakter anak adalah salah satu tempat menimba ilmu agama dan belajar ahlak yang terjamin.
Oleh karena itu jika pembaca menjadi ayah atau ibu, melihat zaman fitah ini, yang tidak bisa kita hindari secara kolektif, maka jangan ragu lagi memondokkan anakmu sejak usia dini.